Wahyu yang pertama diturunkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah surat Al-Alaq [96]: 1-5. Lima
ayat tersebut mengenalkan manusia akan Sang Pencipta, asal mula penciptaan dan
tiga nikmat besar yang menumbuhkan peradaban hebat dalam sejarah umat manusia.
Ketiga nikmat besar tersebut adalah bacaan, tulisan dan pengajaran.
Dalam wahyu yang pertama kali turun
tersebut, Allah Ta’ala berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
(3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Bacalah dengan (menyebut) nama
Rabbmu Yang telah menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah.
Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha
Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan pena (tulisan).
Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq [96]: 1-5)
Di antara wahyu yang diturunkan oleh
Allah Ta’ala pada periode awal kenabian tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun, demi pena dan apa yang mereka
tulis.” (QS.
Al-Qalam [68]: 1)
Saat itu masyarakat bangsa Arab
terkenal sebagai bangsa ummi, bangsa yang tidak memiliki kitab suci,
tidak mengenal baca dan tulis, alias buta huruf. Di tengah mereka memang
terdapat beberapa orang yang pandai baca-tulis, namun jumlah mereka sangat
sedikit dibandingkan jumlah mayoritas masyarakat yang buta huruf. Saat itu
masyarakat Arab memang mencapai masa keemasan di bidang sastra, namun tradisi
sastra yang berkembang luas didominasi oleh sastra lisan yang menyebar dari
mulut ke mulut.
Sejak awal masa dakwah kenabian,
Al-Qur’an dan As-sunnah telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
bacaan, tulisan dan pengajaran ilmu. Islam tidak hanya memerangi kesyirikan,
kemungkaran, kebobrokan akhlak dan tatanan social semata. Islam juga memerangi
keterbelakangan di bidang baca, tulis dan pengetahuan. Islam memerangi
kebodohan dan mencanangkan pengajaran, karena dalam banyak kesempatan,
kebodohan melatar belakangi penyakit kesyirikan dan kemungkaran.
Turunnya wahyu Al-Qur’an dan
pengajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada para sahabat melalui sabda,
perbuatan dan persetujuan beliau membutuhkan pencatatan dan dokumentasi secara
baik. Hal itu melahirkan tradisi baru dalam sejarah bangsa Arab, yaitu tradisi
membaca dan menulis. Dari tradisi itu lahirnya generasi baru yang menganut
IslSelain am, ahli membaca dan menulis. Merekalah yang diangkat sebagai
pencatat wahyu Al-Qur’an setiap kali wahyu Al-Qur’an turun. Mereka pula yang
mencatat hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Kelompok sahabat yang
ahli baca dan tulis itu diperkuat oleh tradisi hafalan mayoritas bangsa Arab
saat itu yang terkenal sangat kuat. Dengan demikian bacaan, tulisan dan hafalan
saling mendukung sehingga wahyu Al-Qur’an dan as-sunnah senantiasa terpelihara.
***
Siapa sajakah gerangan para sahabat
yang termasuk kelompok intelektual yang ahli di bidang baca dan tulis sehingga
dipercaya mencatat wahyu Al-Qur’an dan as-sunnah pada zaman Nabi shallalahu
‘alaihi wa salam?
Para pencatat wahyu Al-Qur’an
Al-imam al-qadhi Muhammad bin
Salamah Al-Qudha’i dalam bukunya, Anba-ul Anbiya’ wa Tawarikhul Khulafa’ wa
Wilayatul Muluk wal Umara’ menulis: “Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib adalah dua orang petugas yang mencatat wahyu yang dturunkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. JIka keduanya sedang tidak ada di
tempat, tugas pencatatan wahyu digantikan oleh Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit.”
Al-imam Ibnu Abdil Barr Al-Maliki
dalam bukunya, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab, menulis: “Ubay bin Ka’ab
lebih dahulu menulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam sebelum Zaid bin Tsabit, kemudian keduanya bersama-sama
menulis. Meski demikian, Zaid bin Tsabit adalah sahabat yang paling rutin
mencatat wahyu. Jika Ubay sedang tidak ada di tempat, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa salam memanggil Zaid bin Tsabit. Ubay dan Zaid mencatat wahyu di
hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam langsung.”
Riwayat-riwayat tersebut menyebutkan
ada empat orang yang menjadi pencatat tetap wahyu . Dua orang dari kalangan
muhajirin, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dan dua orang dari
kalangan Anshar, yaitu Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit.
Jika empat orang pencatat tetap
tersebut berhalangan hadir, maka para sahabat pencatat lainnya menggantikan
tugas mereka. Imam al-qadhi Muhammad bin Salamah Al-Qudha’i menulis bahwa
para sahabat ahli baca-tulis yang menggantikan tugas pencatatan tersebut adalah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jabir bin Sa’id bin Ash, Abban bin Sa’id, Alla’ bin
Hadhrami, Hanzhalah bin Rabi’ dan Abdullah bin Abi Sarh. Khusus tentang diri
Abdullah bin Saad bin Abi Sarh, ia sempat murtad dan melarikan diri ke Makkah
untuk bergabung dengan kaum musyrik Quraisy. Pada saat terjadi penaklukan
Makkah, Utsman bin Affan memberikan jaminan perlindungan kepadanya. Ia kemudian
masuk Islam dan keislamannya baik. Ia bahkan menjadi komandan angkatan laut
Islam pada zaman khalifah Utsman bin Affan dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan
berperan besar dalam jihad di benua Afrika dan Laut Mediterania.
Para pencatat wahyu Al-Qur’an,
as-sunnah dan surat-surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
Selain para sekretaris tetap dan
sekretaris cadangan yang khusus mencatat wahyu Al-Qur’an, terdapat para sahabat
yang menjadi sekretaris umum. Mereka mencatat semua hal penting yang berasal
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, baik berupa wahyu Al-Qur’an,
hadits, surat dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam maupun surat
perjanjian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam lainnya.
Al-hafizh Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi
dalam bukunya, Tarikh Dimasyqa, menyebutkan para sekretaris umum
tersebut berjumlah 23 orang sahabat. Dalam buku Bahjatul Mahafil, imam
Ibnu Abdil Barr Al-Maliki menyebut mereka berjumlah 25 orang sahabat.
Seperti disebutkan oleh Al-hafizh
Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi dalam bukunya, Tarikh Dimasyqa dan imam Ibnu
Abdil Barr Al-Maliki dalam bukunya, Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab, para
sekretaris umum tersebut adalah: Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Abdullah bin Arqam, Ubay bin
Ka’ab, Tsabit bin Qais bin Syamas, Khalid bin Said bin ‘Ash, Abban bin Said bin
‘Ash, Hanzhalah bin Abi Amir Al-Asadi, Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, Syurahbil bin Hasanah, Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, Zubair
bin Awwam, Mu’aiqib bin Abi Fathimah Ad-Dausi, Mughirah bin Syu’bah, Khalid bin
Walid, Alla’ bin Hadhrami, Amru bin Ash, Juhaim bin Shalt, Abdullah bin
Rawahah, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Saad bin Abi Sarh.
Imam Asy-Syibrmalisi dalam bukunya, Hasyiyah
‘alal Minhaj pada bagian Kitabul Qadha’, menyebutkan para sekretaris
umum tersebut berjumlah 40 sahabat. Bahkan al-hafizh Zainuddin Al-Iraqi
menyebutkan mereka berjumlah 42 orang.
Menurut penelitian al-hafizh
Zainuddin Al-Iraqi, ke-42 orang tersebut adalah Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Khalid bin Said bin ‘Ash, Hanzhalah bin Abi Amir
Al-Asadi, Syurahbil bin Hasanah, Amir bin Fuhairah, Tsabit bin Qais bin Syamas,
Abdullah bin Arqam.
Imam al-Hafizh Jamaluddin Al-Mizzi
dalam bukunya Tahdzibul Kamal fi Asmair Rijal dan al-hafizh Abdul Ghani
Al-Maqdisi dalam bukunya Al-Kamal fi Asmair Rijal juga menyebutkan
semua nama sekretaris umum sejak Zaid bin Tsabit sampai Abdullah bin Arqam.
Dari penelitian terhadap kitab-kitab
sirah nabawiyah, al-hafizh Zainuddin Al-Iraqi menambahkan beberapa nama setelah
nama Abdullah bin Arqam. Mereka adalah Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin
Awwam, Alla’ bin Hadhrami, Abdullah bin Rawahah, Khalid bin Walid, Hathib bin
Amru, Huwaithib bin Amru, Hudzaifah bin Yaman, Buraidah bin Hashib, Abban bin
Said bin ‘Ash, Abu Sufyan bin Harb, Yazid bin Abi Sufyan, Muhammad bin
Maslamah, Amru bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, Abu Salamah, Abu Ayyub
Al-Anshari, Mu’aiqib bin Abi Fathimah Ad-Dausi, Arqam bin Abil Arqam, Abdullah bin
Abdullah bin Ubay bin Salul, Abdullah bin Zaid, Abdu Rabbih, Juhaim bin Shalt,
Alla’ bin Utbah, Hushain bin Numair, dan Abdullah bin Saad bin Abi Sarh.
Imam Al-Burhan Al-Halabi dalam
bukunya, Hawasy Asy-Syifa’, menyebutkan jumlah mereka mencapai 43 sahabat.
Para sekretaris umum yang berjumlah
42 atau 43 orang sahabat tersebut menangani tugas-tugas penulisan dan
dokumentasi. Hal yang mereka tulis mencakup wahyu Al-Qur’an, hadits, surat
perjanjian damai, surat dakwah, surat pengarahan kepada para pegawai dan
komandan pasukan dan hal-hal penting lainnya atas perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam.
Tidak setiap sekretaris bisa
senantiasa mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Terkadang
mereka berhalangan hadir, karena sakit, mencari pencaharian hidup untuk
keluarga, atau berangkat dalam suatu pasukan jihad. Oleh adanya beberapa
halangan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengangkat dua
sekretaris tetap yang senantiasa mendampingi beliau dan mencatat segala hal
yang perlu didokumentasikan, utamanya wahyu Al-Qur’an. Dua orang sekretaris
tetap yang paling sering mencatat wahyu Al-Qur’an tersebut adalah Zaid bin
Tsabit dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Demikian ditulis oleh imam Al-Huraini
dalam Al-Mathali’ An-Nashriyah, An-Nawawi Asy-Syafi’i dalam Tahdzibul
Asma’ wal Lughah dan Ibnu Abdil Barr Al-Maliki dalam Bahjatul
Majalis.
Untuk menunjang tugas
kesekretariatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah memerintahkan
kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani, baik secara lisan
maupun tulisan. Bahasa Ibrani adalah bahasa komunikasi lisan dan tulisan kaum
Yahudi. Dengan sekretaris tetap yang menguasai bahasa Ibrani secara lisan dan
tulisan, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salam bisa memahami surat-surat kaum
Yahudi dan selamat dari makar jahat mereka. Beliau juga mampu membalas
surat-surat kaum Yahudi dengan bahasa mereka.
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ: أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ «أَنْ يَتَعَلَّمَ كِتَابَ
اليَهُودِ» حَتَّى كَتَبْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كُتُبَهُ، وَأَقْرَأْتُهُ كُتُبَهُمْ، إِذَا كَتَبُوا إِلَيْهِ
Dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam telah memerintahkan kepadanya untuk mempelajari
tulisan (bahasa lisan dan tulisan) kaum Yahudi. Zaid berkata: “Sehingga aku
bisa menuliskan surat-surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam kepada kaum
Yahudi (dengan bahasa Ibrani) dan aku bisa membacakan surat-surat kaum Yahudi
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” (HR. Bukhari no. 7195)
Dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya:
يَا زَيْدُ، تَعَلَّمْ لِي كِتَابَ
يَهُودَ، فَإِنِّي وَاللهِ مَا آمَنُ يَهُودَ عَلَى كِتَابِي ” قَالَ زَيْدٌ:
فَتَعَلَّمْتُ لَهُ كِتَابَهُمْ، مَا مَرَّتْ بِي خَمْسَ عَشْرَةَ لَيْلَةً حَتَّى
حَذَقْتُهُ وَكُنْتُ أَقْرَأُ لَهُ (3) كُتُبَهُمْ إِذَا كَتَبُوا إِلَيْهِ،
وَأُجِيبُ عَنْهُ إِذَا كَتَبَ “
“Wahai Zaid, pelajarilah untukku
bahasa kaum Yahudi karena sesungggunya, demi Allah, aku tidak bisa mempercayai
kaum Yahudi terhadap surat-suratku!” Zaid menuturkan, “Maka aku mempelajari
tulisan (bahasa) mereka. Tidak lebih dari 15 hari, aku telah menguasai bahasa
mereka dengan baik. Maka aku membacakan untuk beliau surat-surat kaum Yahudi
jika mereka menulis surat kepada beliau dan aku menuliskan surat beliau jika
beliau membalas surat mereka.” (HR. Ahmad no. 21618, Abu Daud no.
3645, Tirmidzi no. 2715, Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no.
2039 dan Ath-Thabarani no. 4856-4957. Imam Bukhari meriwayatkannya dalam
shahihnya no. 7195 secara mu’allaq denga shighat jazm, yang menunjukkan
keshahihan hadits ini. Imam At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih)
Peristiwa besar nuzulul Qur’an,
turunnya wahyu Al-Qur’an telah melahirkan umat Islam sebagaii sebuah bangsa
besar dengan peradaban yang sangat tinggi, peradaban baca, tulis, dan
pengajaran, bahkan pembelajaran dan penguasaan bahasa-bahasa asing milik
bangsa-bangsa non-muslim, demi kepentingan dakwah.
Di bulan Ramadhan yang menjadi bulan
turunnya wahyu Al-Qur’an ini, sudah selayaknya kita memetik hikmah
peradaban Al-Qur’an dan as-sunnah. Sudah selayaknya kita merenungkan dan
berintrospeksi diri, sudah sejauh mana kita memberdayakan wahyu Al-Qur’an dan
as-sunnah bagi kemajuan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat kita? Wallahu
a’lam bish-shawab.
Referensi:
Muhammad Abdul Hayyi bin Abdul Kabir
Al-Hasani Al-Idrisi Al-Kattani, At-Taratib Al-Idariyah wal ‘Ummalat wash
Shina’at wal Matajir wal Halat Al-Ilmiyyah al-Lati Kaanat ‘ala ‘Ahdi Ta’sis
Al-Madinah Al-Islamiyyah fil Madinah Al-Munawwarah Al-Ilmiyyah, hlm.
151-156, Beirut: Darul Arqam, t.t.
(muhib almajdi/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar